Setuju? Jelas, iya.
Makin ke sini, temen yang bisa diajak ketemu, curhat yang mendalam, ketawa ketiwi sampai perut sakit ngomongin hal receh, ya, orangnya bakal itu-itu aja.Tapi, dengan inner circle yang terbatas, sebenarnya justru bisa bikin kita lebih lebih terbuka dan apa adanya.
No drama dan no pura-pura. Kalau lagi kesel, bilang, kalau merasa keganggu, ya, bilang juga. Semua nggak terlepas karena adanya faktor secure attachement-nya sudah terbentuk.
Karena sudah merasa dekat, kita pun bisa tampil dan jadi diri sendiri dan apa adanya. Harapannya, semua teman gue pun bisa ngerasa hal yang serupa.
Ngomongin soal pertemanan, jadi ingat cerita dua orang teman. Sebut aja, Mawar dan Pelangi. Mereka ini sudah berteman sudah cukup lama, paling nggak lebih dari 10 tahun.
Katanya, nih, pertemanan yang bisa terus dipelihara, setidaknya lebih dari 7 tahun, umurnya akan long lasting.
Balik lagi ke Pelangi dan Mawar, karakter keduanya sebenarnya cukup jauh beda. Pelangi cenderung cuek, selebor, saking cueknya jadi apa-apa sering dibawa santai. Plus kalau ngomong sering kali nggak disaring. Blak blakan. Sementara Mawar sebaliknya, rapi jali, terstruktur, dan sensitif.
Pada suatu titik, tiba-tiba aja, Pelangi ini baru menyadari kalau Mawar tiba-tiba jaga jarak. Menjauh.
Komunikasi, yang semula cukup intens meskipun sekadar lewat WA, tiba-tiba aja berhenti. Saat Pelangi coba 'pancing', bahkan berusaha untuk ajak ketemu, nggak membuahkan hasil.
Yeah... mungkin memang waktunya aja nggak pas. Lagi sama-sama sibuk. Namanya juga sesama ibu, ya kan, ya.... Nggak cuma ribet urusan anak, urusan domestik, tapi ditambah lagi urusan kerjaan kantor.
Sadar ada sesuatu yang nggak beres, Pelangi pun jadi makin penasaran. Hingga akhirnya niat buat ngobrol secara langsung, hanya bisa direalisasikan dengan ngobrol di wa.
"Dari pada nggak diomongin, mending juga tanya langsung meskipun hanya di WA" begitu kata Pelangi.
Intinya, Pelangi cukup penasaran kenapa sikap Mawar berubah.
Ada apa? Kenapa? Apa yang salah?
Singkat kata singkat cerita, Pelangi pun dapat jawabannya. Ternyata dugaan Pelangi memang nggak meleset. Bahwa Mawar kecewa karena saat 'kepergian' ayahnya, Pelangi nggak datang untuk melayat.
Iya, sebagai teman, Pelangi memang salah. Dianggap tidak respek. Ia pun bisa terima. Untuk itu, pun sudah mengakui kesalahannya. Dan sudah minta maaf.
Seharusnya sesibuk apapun urusan kerjaan, meskipun Pelangi memang tidak mengenal secara langsung sosok almarhum, tapi tetap saja sebagai teman sudah seharusnya Pelangi datang untuk melayat.
Kenyataan tidak.
Rupanya, kekesalan dan rasa kecewa Mawar nggak cuma sampai di situ. Ada banyak rasa kecewa dan mungkin marah yang dirasakan Mawar terhadap Pelangi.
Hingga ucapan maaf Pelangi pun (mungkin) sudah nggak ada artinya lagi. Bahkan akhirnya berujung dengan menjaga jarak.
Denger ceritanya, kok, sedih.
Mengingat usia Pelangi dan Mawar sudah sama-sama dewasa, harusnya kan masalah seperti ini bisa diselesaikan, ya.
Apa hanya karena masalah tersebut hubungan pertemanan selesai?
Bisa jadi.
Kadang, satu dua kesalahan memang bisa menutup segalanya. Istilahnya, nih, kesalahan orang lain memang terletak pada mata kita sendiri. Sedangkan kesalahan diri sendiri terletak pada punggung kita.
Setidaknya lewat cerita ini, gue jadi belajar bahwa hubungan pertemanan itu nggak akan selalu berjalan manis kaya madu. Kalau ada yang yang bilang, teman dekat nggak akan saling mengecewakan, non sense.
Buat gue, hubungan pertemanan atau persahabatan, nggak ubahnya dengan pernikahan. Ada duka, tawa, sedih, susah, dan segala macam rasa.
Sama dengan pernikahan, hubungan pertemanan juga bisa berjalan terus kalau semua pihak memang sama-sama mau ngejalanin.
Biar gimana gue percaya, kalau kualitas paling indah dari sebuah pertemanan adalah saling mamahami dan dipahami. Bukan sekadar menuntut sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Layaknya cinta dalam sebuah pernikahan yang semestinya nggak bersyarat, pertemanan yang sehat idealnya juga bisa begitu. Artinya, memang sebenarnya nggak perlu pamrih, dan mungkin nggak perlu punya ekspektasi berlebihan.
Sayangnya, seperti yang diungkapkan salah satu psikolog, sebagai seorang teman, kadang kita terlalu sibuk untuk menuntut dan berharap teman yang memberikan cinta tak bersyarat, tetapi kita sendiri lupa untuk menjadi sosok teman yang memberi cinta tak bersyarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar