Kenapa, Sih, Ibu (Mudah) Marah? - Adisty Titania

Jumat, 11 Mei 2018

Kenapa, Sih, Ibu (Mudah) Marah?

Siapa yang punya sumbu sabar pendek?

Baru lihat ulah anak yang nggak 'manis' sedikit, bawaannya emosi jiwa?

Apalagi kalau ditambah anaknya ngejawab ibunya waktu dikasih tau .....

Nah, kalau begini... yang ada gue bisa ngomel merepet panjang kaya  kereta The Ghan. Itu, lho... kereta api kereta api di Australia yang udah dinobatkan The Guiness World Records sebagai kereta terpanjang di dunia....

Kerja di media parenting 6 tahun, bolak balik nulis artikel yang terkait dengan mengelola emosi, sering wawancara dan ikutan talkshow yang nara sumbernya psikolog, plus udah jadi ibu hampir 8 tahun, ternyata perkara mengelola emosi yang baik itu masih jadi PR terbesar buat gue.

Sebenernya udah sering banget diingetin sama suami soal ginian. Harus lebih sabar ngadepin anak. Tapi tetep aja, perkara buat (lebih) sabar itu susahnya ampun-ampunan.

Padahal mah kalau diinget-inget, sebelum jadi orangtua, gue kan pernah jadi anak, jadi tau persis kalau denger orangtua ngomel itu nggak enak banget. Bahkan, bisa  sampe bikin sedih...

Ya, mungkin perasaan ini yang Bumi rasain kalau gue lagi ngomel-ngomel.

Jadi kemarin itu, tahu-tahu Bumi nyamperin sambil tanya sesuatu. Kira-kira gini percakapan kami kemarin.

Bumi    : Ibu... Ibu... Aku mau tanya, kenapa sih, kalau aku lagi sedih, rasanya aneh?
Ibu        : Aneh gimana?
Bumi    : Ya, aneh, kayanya hati aku itu ada bolongnya. Rasanya kaya luka... Ini cara ngilangnya gimana, sih, bu? Karena rasanya nggak enak?
Ibu       : Uummmh... 'Sambil mikir, kenapa ni bocah pakai istilah bolong segala*  Ya, itu namanya perasaan emosi, Mas. Mas Bumi tau emosi itu kaya apa?
Bumi  : Seneng, kesel, sedih....
Ibu      : Iya, itu namanya emosi. Ya, cara ilangnya bisa macam-macam, misalnya cari kegiatan yang bisa Mas Bumi happy. Tapi perasaan itu wajar, kok. Tapi, kalau kesel itu nggak boleh bikin Mas Bumi nyakitin orang lain, diri sendiri, dan ngerusak barang, ya...
Bumi  : Oooh... Yang kaya kemaren pas aku kesel, aku tendang tembok terus ibu marah2 ya?
Ibu     : Nah, iya itu. Bener. Kalau kesel  gak boleh kaya gitu, makanya kan kemarin ibu marah dan udah jelasin kan kenapa ibu marah?
Bumi   : Iya abis, aku nggak tau gimana bikin aku cheer up lagi, Bu... Kalau ibu marah gitu bikin aku sedih juga.... Itu yang bikin hati aku kayanya ada bolongnya
Ibu  :  ..... *bingung mau kasih respon kaya gimana*

Kemarin tuh, gue semacam diingetin lagi kalau ngomel sama anak itu sebenernya bisa bikin luka di hati anak.

Gue cukup berentung karena Bumi termasuk anak yang mau terbuka. Dia ngomong kaya gitu anak udah cukup "nampar". Ingetin lagi, kalau gue memang harus belajar buat (lebih) sabar.


Balik lagi soal mengelola emosi, ternyata emang ada alasan di balik kenapa seorang ibu cenderung lebih nggak sabaran dan sering numpahin kekeselan sama anak.

Beberapa hari lalu, gue sempet telepon Mbak Nadya Pramesrani untuk wawancara terkait pemberitaan seorang ayah yang sodomi anaknya sendiri. Duh, gue masih ngilu deh, kalau inget ada bapak bisa sekeji ini sama anaknya yang berusia 4 tahun *kraaaayyy*

Kemarin itu, Mbak Nadya sempat ngejelasin, kalau kecendrungan orangtua yang sedang emosi, memang sering kali melampiaskannya sama anak. Ya, ujung-ujungnya anak yang jadi korbannya.

Malah Mbak Nadya bilang sebenernya ada penelitian yang dilakukan di India yang membuktikan hal ini. Penelitian ini juga memperlihatkan kalau kencedrungan sang ibu memarahi anak jauh lebih besar dari para bapaknya.

Kenapa ibu gampang marah-marah ke anaknya?


Seperti yang dijelaskan Mbak Nadya, ketika orangtua sedang banyak pikiran atau lagi stress, teruatama saat ada masalah dengan pasangannya, atau memang ada isu lain, nah, subjek pertama yang paling cepet kena dampaknya itu memang anaknya.

Bentuknya seperti apa? Ya jadi bisa nggak sabaran sama anak, batas tolerasi jadi rendah sama anak, meskipun mencoba untuk 'waras' tapi nggak disadari bahasa tubuhnya jadi judes atau jadi lebih dingin ke anak.

Sebenernya yang jadi subjek kemarahan itu nggak cuma anak aja, sih, menurut Mbak Nadya, intinya orang yang sering kena dampak itu adalah orang yang dianggap punya kedekatan secara emosional.

Alasannya ini sebenarnya nggak terlepas karena secara psikologis kita memiliki hubungan emosional  yang aman. Sudah ada secure attachment, gitu.

Jadi secure attachment ini jelek?


Ya, nggak, gitu. Justru dengan secure attachment dari satu sisi kita bisa jadi apa adanya. Ya, nggak usah pura-pura jadi orang lain. Plus ada rasa trust di dalamnya. Beda banget kalau saat menghadapi orang yang kita nggak kenal dengan baik, apalagi sama orang yang baru kenal, kan pasti lebih hati-hati.

"Somehow kita tahu ada kemungkinan orang ini akan judging ke kita atau hal lainnya Bagi hubungan anak-anak dan orangtua sebenernya adanya  secure attachement ini baik, tapi masalahnya tidak sedikit yang akhirnya malah jadi take it for granted. Merasa nggak perlu pasang topeng lagi, nggak ada filter lagi, jadinya malah kebablasan," kata Mbak Nadya.

Lagian, nih, sebenernya secure attachment itu baru bisa terbentuk kalau anak memang mendapatkan perlakuan yang hangat, konsisten dan responsif.

Pertanyaannya selanjutnya? Terus gimana, dong, supaya secure attachment ini nggak perlu kebablasan?


Seperti yang dibilang Mbak Nadya, kuncinya itu, ya harus jaga diri sendiri!

Lagi merasa mumet dan nggak bisa manis di depan anak? Ya, jauhin aja dulu. Sementara jauh menjauhkan anak nggak dosa, kok!

Ya, namanya kan juga manusia, ya... pasti butuh break. Karena kalau maksain diri, yang jadi kena impasnya, malah anaknya. Misalnya, nih, udah tau mukul atau nyubit anak itu nggak bagus, tapi tetep aja dilakuin.

"Sebenarnya memang nggak mau mukul untuk nyakitin anak, tapi memang ada anergi yang tidak bisa ketahan yang akhirnya disalurkan."

Dengan memberikan diri sendiri time out justru ngebantu untuk nenangin diri. Kabur aja sebentar ke kamar mandi, cuci muka. Kalau perlu sekalian aja mandi.Atau ke warung sebentar cari minuman manis.

Nah, moment time out kaya gini bisa kasih kesempatan ke diri sendiri untuk mikir, sebenernya perlu nggak sih marah-marah kaya gitu? Apa emang perlu marah sama anak?

Kalau kata orang bijak mah, better listen your anger, rather than act on it.

Selain itu, gue juga ingat sempat ngobrol dengan Mbak Nina Teguh, katanya cara lain yang bikin kita bisa belajar untuk bisa lebih sabar adalah bisa dengan cara menjalin hubungan dengan lingkungan atau orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik.

“Jadi, dekati saja orang-orang yang punya kecerdasan emosional yang baik, karena seiring waktu yang berjalan, kecerdasan emosional dapat berubah setara dengan orang terdekat,”


Memang bener, sih, tanpa disadari kita kan memang bisa menyerap energi yang ada di lingkungan sekitar. Lebih baik cari inner circle yang bisa nularin energi positif kaya gini.

Ya, kalau kita sebagai orangtua nggak bisa kasih contoh bagaimana mengelola emosi dengan baik? Gimana dengan anak? Kan anak perlu contoh yang konkret? Emang mau anak tumbuh dengan sumbu emosi yang pendek? Nggak mau dong, ya! Makanya belajar terus..... *ngomong di depan kaca*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar