Kenapa Berhenti Bekerja dari Perusaahan Lama ? - Adisty Titania

Rabu, 28 Februari 2018

Kenapa Berhenti Bekerja dari Perusaahan Lama ?

Jadi gini... Senin lalu itu, tiba-tiba aja buwbows negor gue, trus tanya, "Adisty, kita belum ngobrol kan, ya? Kalau sudah nggak sibuk, bisa ngobrol sekarang, ya." Ditegor boss besar pas lagi asik ngetak ngetik, ya jelas aja sempet bikin kaget. Apalagi memang gue sama sekali belum pernah ngobrol berduaan gitu....

Oh, ya, sekadar informasi, ternyata salah satu kultur di TAP itu memang ada sesi ngobrol kaya begini. One on one, langsung sama ibu CEO.

Waktu itu, sih, gue langsung ngebatin, "Duh, bakal ditanya apa ya?" Kok jadi deg-degan bin tegang gini. Macem pertama kali diajak ketemu calon mertua, hahahhaa.

Tapi ya, sudahlah... dalam hitungan detik gue pun langsung 'ngekor' buwbows  menuju sofa. Sambil tetep mikir gue bakal ditanya apa aja....

Alhamdulilah wasyukurillah... ternyata pertanyaannya nggak bikin mumet, kok! Tapi nggak mengurangi rasa grogi, sih... Jadi pertanyaannya itu kira-kira seperti ini, "Gimana... kamu happy nggak di sini? Ceritain dong, soal kamu... Ada yang bikin stress nggak dari kerjaan ini? Sebelumnya kerja di mana? Kenapa kamu akhirnya memutuskan resign?"

Hadeeeuw....



Buat jawab pertanyaan yang terakhir itu kok,  gue sempet rada bingung ya. Takut jawab salah, gitu. Tapi ujung-ujungnya jawabannya (sok) diplomatis aja....

"Ya, karena saya memang mau belajar lebih banyak lagi. Mau dapat tantangan lagi mengingat TAP sendiri kan bukan perusahaan lokal, dan sudah ada di beberapa negara. Pasti tantangannya beda."

Ya, setidaknya memang itu sih, salah satu yang bikin gue berani keluar dari comfort zone selama 5 tahun.

Oh, ya, kemarin ada salah satu yang gue seselin, kenapa nggak bilang salah satu yang bikin gue stress itu cuma perkara macetnya yang nggak nahan. Perjalanan Lebak Bulus ke Kuningan ternyata cukup melelahkan saudara-saudara!

Mungkin karena memang dipengaruhi faktor usia yang sudah kian jompo kali, ya? Bisa jadi.

Syukurnya, sih, meskipun nggak sempet bilang, toh, sebenernya buwbows udah denger curhatan serupa dari temen-temen lainnya. Berdoa aja kalau ke depannya kantor bisa pindah ke daerah selatan, yang kondisi macetnya nggak parah kaya Kuningan.

Ok, balik lagi ke soal kenapa berhenti kerja dari kantor lama, sebenernya nggak sedikit temen-temen yang ngajuin pertanyaan serupa. Kenapa sampai berhenti kerja dari kantor lama?

Kerja di Mommies Daily sampai 5 tahun sebenernya jadi rekor buat gue. Bahkan semula gue sempet mikir, kalau Mommies Daily bakal jadi kantor terakhir gue sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun kerja kantoran.


Terus kenapa berhenti kerja, dong? Kenapa pindah?


Jawabannya memang sama dengan apa yang gue bilang ke buwbows, kok. Sekali lagi, gue butuh belajar sesuatu yang baru. Mengingat theAsianParent ini ada di beberapa negara, gue sih mikirnya pasti akan banyak pelajaran yang bisa gue dapetin. Setidaknya gue belajar bahasa Inggris lagi, hahahaha.

Tapi, kalau berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman beberapa temen yang akhirnya memutuskan untuk resign, sebenarnya memang ada beberapa hal yang bisa dijadikan semacam sinyal, kapan sebaiknya kita berani untuk resign.

Umh gue coba rangkum aja, deh, ya.... kali aja ada faedahnya buat yang lagi maju mundur, bingung nentuin harus cus dari kantor lama atau nggak.

Salah satu tanda ketika motivasi ke kantor hanya karena tahu jam 6 itu bisa pulang, itu bisa jadi sebuah tanda kenapa harus berhenti kerja dan cari tempat baru.


Buat gue, kontor itu udah ibarat rumah ke-2. Tempat loe ngabisin waktu setegah hari. Dan itu berjalan 5 kali dalam 7 hari. Nah, kebayang nggak sih, kalau ngalamin kondisi ini? Motivasi ke kantor itu cuma karena tahu loe bakal cepet pulang.

Dulu memang ada temen kuliah yang cukup deket bilang ke gue, "Loe tau nggak, Dis, setiap pagi yang bikin gue semangat kerja itu cuma karena gue inget, gue akan pulang ke rumah jam 6. Asli deh, suasana kantor gue bener-bener jauh dari kata menyenangkan."

Menurutnya, sih, nggak menyenangkannya ini memang karena kultur dan birokrasi di kantornya yang nggak menyenangkan. Termasuk soal bagaimana atasannya memperlakukan dirinya. Yes, cara atasan ke bawahan itu juga penting.

Gue jadi ingat, beberapa waktu lalu ikutan talkshow yang terkait dengan poin ini. Sayangnya gue lupa siapa pembicaranya. Tapi dia bimbang, konsep atasan bawahan itu sebenarnya itu keliru. Kalau masih ada atasan memandang elo sebagai anak buah, efeknya nggak akan bagus. Jadi mindset emang harus diubah sebagai teman satu tim.

Nggak ada tempat buat nuangin aspirasi dan ide. 


Lain lagi cerita temen gue yang akhirnya cuma bertahan kerja selama 3 bulan. Begitu probation kelar, dia malah memutuskan untuk cabut. Alasannya, semua ide dan aspirasi dia sering kali tidak didengar. Dipatahin gitu aja sama atasannya. Ya, karena ngerasa nggak dapat kesempatan untuk belajar dan berkembang, buat apa bertahan?

Kenaikan gaji nggak nggak manusiwi


Umh, tahu sendiri dong ya, kalau kebutuhan hidup ini nggak sedikit? Ini kebutuhan hidup, lho, ya, bukan gaya hidup. Catat!

Ketika gaji mandek, naik cuma seratus ribu atau dua ratus ribu, sebenarnya perlu dipertanyakan ulang ke diri sendiri. "Baiknya gimana, nih, perlu bertahan nggak dengan perusahaan yang hanya menilai kenaikan gaji segitu?"

Seenggaknya, gaji yang diterima teermasuk dengan kenaikannya memang harus disesuaikan dengan beban pekerjaan, pengalaman kerja dan hal-hal yang lain yang memang sudah dicapai. Dan ini pun sebenernya perlu dilihat dari KPI, jadi jelas.

Soalnya ada, lho, cerita teman yang bilang kenaikan gajinya nggak sesuai dengan standart, dan itu semua dianggap karena hasil pekerjaannya kurang maksimal tapi ukurannya nggak jelas karena memang nggak tertuang di dalam KPI. Kan aneh juga.

Jadi mau sampai kapan terima gaji pas-pas?

Gini doang, nih? 


Saat ngerjain tugas tugas kantor kemudian timbul perasaan, "Gini doang, nih?", mungkin sudah saatnya untuk me-review diri sendiri dulu, kemudian berpikir cari kerja di tempat baru. Kebayang, dong, ya....kalau melakukan hal yang sama, itu-itu saja selama bertahun-tahun, pasti bikin bosen. Macem kurang ada gregetnya. Jadi butuh sesuatu yang kasih tantangan baru. Bikin loe terus berpikir, bahkan bisa merangsang adrenalin karena bikin bersemangat dan tertarik untuk melakukannya.

Nggak dihargai dan karier yang stagnant


Ketika loe sudah berusaha melakukan pekerjaan pakai hati, nggak pernah hitung-hitungan untuk bantu divisi lain karena memang selalu perpikir pentingnya membangun teamwork, eh, ternyata apa yang sudah dilakukan nggak dianggap. Bahkan sama sekali nggak jadi nilai plus. Nah, mungkin sudah saatnya mencoba peruntungan di tempat baru. Terlebih penilaian hasil kerja nggak jelas dan tak ada kepastian untuk mendapat promosi sampai bikin karier mentok.

Terlalu banyak merampas waktu pribadi


Ada teman kuliah gue yang akhirnya nggak tahan untuk resign karena merasa nggak punya waktu lagi untuk diri sendiri. Boro-boro deh, punya waktu buat kongkow-kongkow sama temen-temen, buat sendiri dan keluarga aja susah. Ya, mungkin karena gue udah ibu-ibu juga, ya, punya prioritas hidup yang beda. Tapi tetep aja, sih, kalau ketika gue masih single,  gue juga selalu memegang prinsip, kerja keras memang baik, tapi setidaknya harus imbang.

***

Jadiii.... mungkin kalau emang udah nemuin beberapa sinyal kaya gini, nggak ada salah mulai mikir ulang, mungkin sudah saatnya untuk berhenti bekerja di perusahaan lama dan mencari 'rumah' baru. Tapi, ya, pikirin mateng-mateng dulu, ya. Jangan cuma pakai esmosi, gitu....


2 komentar: