Wonder, Keajaiban Hati yang Tulus - Adisty Titania

Sabtu, 30 Desember 2017

Wonder, Keajaiban Hati yang Tulus

"When given the choice between being right or being kind, choose kind," - Wonder The Movie

Hampir seminggu yang lalu, gue akhirnya nonton Wonder. Iyaaa... akhirnya.... setelah sekian lama pengen nonton tapi selalu ketunda, akhirnya gue nonton juga! Nonton sendirian, sambil ngemil pop corn. Ultimate me time banget, deh! Hahhahaa, makasih banget buat pak suami yang udah kasih izin gue bisa ke PIM setelah pulang dari resepsi sepupunya.

Ya, sudah tahu dong, ya, kalau cerita ini mengisahkan perjuangan Auggie Pulman, seorang anak yang mengalami gangguan genetik, Sindrom Treacher Collins?

Di dunia nyata, gue pun diberi kesempatan untuk mengenal Yola Tsagia, seorang ibu hebat yang punya anak perempuan dengan  sindrom serupa. Kelainan genetik yang bisa dilihat dari bentuk wajahnya yang khas. Kelainan ini merupakan penyakit kongenital langka yang merusak susunan tulang di area kepala. Akibatnya, bentuk kepala menjadi kecil, tidak memiliki tulang pipi, kelopak mata terkulai, rahang tidak berkembang, dan tulang-tulang telinga tengah tidak terbentuk. Kondisi inilah yang akhirnya membuat penderita mengalami kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran hingga keterlambatan tumbuh kembang lainnya.

Sayangnya mutasi gen ini memang belum ada pencegahannya, dan terjadi pada saat kehamilan. Artinya semua kehamilan berisiko untuk mengalaminya. Di Indonesia, kelainan genetik ini termasuk penyakit langka. Sementara data di Amerika Serikat menyebutkan kalau Sindrom Treacher Collins ini ditemukan dari 1 : 50.000 pada kehamilan. Menurut Mbak Yola, angka kelainan genetik TCS di Indonesia juga masih sedikit. Dan informasi mengenai TCS juga masih minim.

Nonton film Wonder jadi mengingatkan gue dengan cerita Mbak Yola. Bagaimana dia harus menyiapkan puterinya supaya bisa tumbuh secara optimal. Bisa siap ke luar dari rumah. Menyiapkan anak untuk tahu bahwa dunia ini diisi oleh beragam karakter orang, ada yang jahat dan licik, tapi tentu aja nggak sedikit orang yang baik dan punya hati yang tulus.

Awalnya gue pikir, film ini nggak jauh-jauh dari cerita Auggie Pullman, thok. Tapi dugaan gue salah, ceritanya lebih kompleks. Pesannya sangat mendalam. Nggak cuma seputar cerita Auggie yang mencoba belajar dan ke luar dari dunia yang selama ini selalu bikin dia nyaman, rumah dan keluarganya.

Setelah sekian lama belajar lewat home schooling bersama ibunya, Isabel yang diperankan sama Julia Roberts, Auggie akhirnya harus mencoba belajar di luar rumah dengan mulai sekolah, bertemu dengan lingkungan baru. Lingkungan yang belum terbiasa melihat kondisinya.

"I know I’m not an ordinary kind of a kid, I’ve had twenty-seven surgeries. They help me to breathe, to see, to hear without a hearing aid, but none of them have me look ordinary, " Auggie. 

Sepanjang nonton ini film, kayanya banyak banget scene yang bikin air mata gue tumpah. Kebayang aja gitu bagaimana perasaan seorang anak yang dilahirkan secara berbeda. Saat dia tahu lingkungan masyarakat belum terbiasa melihat kondisinya yang beda. Bagaimana seorang anak harus menghadapi tatapan heran, atau malah jijik melihat dirinya  beda? Bahkan sampai menjauhi lantaran dianggap perbedaan fisiknya bisa menular dan dianggap kutukan.

"I know I’ll never be an ordinary kid. People don’t like to touch me, because they think I’m contagious, " Auggie. 

Termasuk membayangkan  gimana perjuangan ngan orangtua yang harus membuat anaknya kuat sehingga bisa berada di dunia luar. Totalitas orangtua buat mendampingi anak,  sampai harus melupakan mimpinya. Bahkan tanpa sengaja jadi mengesampingkam anak yang lain karena seluruh perhatian sudah tertuju pada anak yang mengalami sindrom Treacher Collins.

Adalah Via, kakak perempuan Auggie yang dianggap sebagai kakak yang sangat pengertian, akhirnya harus menelan pil pahit, lantaran merasa terpinggirkan. Padahal sebagai gadis remaja, Via juga punya masalah di sekolah. Butuh tempat curhat dan perhatian.  Meskipun terlahir sebagai anak yang normal, membuatnya tetep ingin 'dilihat' dengan cara yang sama.

Pesan lain yang nggak kalah penting yang perlu diajarkan pada anak-anak mengenai jangan pernah menilai seseorang dari tampilan fisiknya saja, termasuk lewat sepatu yang ia kenakan :D. Justru kalau memang ada teman yang licik, mau menang sendiri sendiri, sampai menghina dan menjatuhkan orang lain, ya, tinggalkan saja. Teman yang baik, nggak mungkin akan bersikap demikian.

Film yang diadaptasi dari buku yang ditulis R. J Palacio ini punya pesan yang ke mendalam. Sayang banget deh, kalau film keluarga sampai dilewatkan tahun 2017 ini. Menurut gue, sih, semua dialognya itu punya pesan yang mendalam. Khusus untuk dialog dari sang ayah, bisa bikin ketawa. Karena sosok ayah Auggie, ditampilkan sebagai sosok ayah yang hangat. Kadang  bisa jadi 'badut' dengan komentarnya yang lucu, tapi berisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar