Lego, Untuk Dipajang Atau "Dihancurkan" ? - Adisty Titania

Sabtu, 12 November 2016

Lego, Untuk Dipajang Atau "Dihancurkan" ?

“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.” - Albert Einstein

Siapa yang setuju dengan quote ilmuan fisika teoretis ini? Kalau saya, sih, jelas setuju. Mengembangkan imajinasi anak itu sangat penting. Makanya saya dan suami akhirnya rela mengeluarkan uang lebih untuk membelikan Bumi mainan yang bisa merangsang daya imajinasi Bumi semacam Lego.



Lego. Tahu, dong, kalau mainan ini nggak bisa dibilang murah? Eh, setidaknya buat kami, sih. Nggak tahu buat keluarga yang lainnya :D

Jadi, saat saya dan suami membelikan Bumi maianan, pertimbangannya mainan tersebut memang kami harapkan bisa memancing imajinasi Bumi untuk bisa berkembang. Pada masanya, saat Bumi masih batita, anak kami ini seneng banget sama Thomas and Friends. Jadilah waktu itu segala pernah pernik yang berbau Thomas dia gandrungi. Lama kelamaan, saat anaknya makin gede, Thomas dan teman-temannya ini pun kian dilupakan. Bergeser ke Lego.

Sepanjang ingatan, lego pertama yang saya belikan adalah lego lokomotif kereta api yang ukurannya kecil mungil. Tapi tetep aja harganya di atas 100 ribu. Ya…. Namanya juga mau nyenengin anak, ya… meskipun mahal, orangtua kadang suka bela-belain tetep beli. Catatannya, memang kalau rezekinya ada, dan nggak maksain motong uang belanja, hahahhaa.Tapi - ini mungkin yang namanya rejeki anak - di beberapa kesempatan beli lego , saya juga memanfaatkan voucher potongan harga dari hasil doorprize liputan atau menang live tweet saat liputan.

Singkat cerita…. Koleksi lego Bumi pun kian bertambah. Sampai-sampai saya sendiri sudah lupa beliin berapa box lego. Mulai dari seri Lego City, Creator, juga Lego Classic dan dua Lego kecil lainnya…

Awalnya saya dan suami seneng-seneng aja ngeliat Bumi cukup lihai saat nyusun lego. Satu, dua, tiga lego pun selesai dibuat dengan waktu yang relative cepet. Hingga akhirnya, lama-lama kondisinya mulai berubah. Lego-lego yang bentuknya utuh dan kece lama-lama jadi pretelan sana sini.

Ada helikopter yang semula sudah, kece, eh bentuknya jadi nggak jelas lagi…
Mobil pemadam kebakaran serta gedung yang semua cakep dan bisa dijadiin pajangan, malah ancur lebur semua.

Mulai, deh, kesel.  Mesti, ya? Lego dihancurkan lagi?



Semua bentuk udah jadi nggak sempurna. Bentuknya udah ajaib sesuka imajinasi Bumi. Ada helikopter yang tanpa baling-baling, mobil pemadam kebakaran kehilangan keempat rodanya tapi punya sayap, atau mobil jeep yang tiba-tiba panjang mirip limosin. Ada juga ojek minus roda tapi punya baling-baling dan sayap.

Balok si lego pun udah mulai awur-awuran di sana sini. Ada yang di depan TV, ada di kolong kasur, ada juga yang hampir kesapu karena dikirain sampah dan mainan yang udah nggak dipakai lagi.
Bisa ketebak nggak reaksi saya seperti apa?

Kesel dan mau marah. Khawatir lego-lego itu hilang. Mempertimbangkan harganya yang nggak murah nyesek aja kalau hilang. Apalagi kalau satu bagian saja hilang, bentuk lego setelah jadi gak akan sempurna lagi.

Tapi karena mempertimbangan Bumi selalu bilang akan nyusun ke bentuk semua, ya, sudah. Pasrah. Apalagi suami juga nggak mempermasalahkan lego-lego itu dibongkar, dijadikan bentuk-bentuk yang 'futuristik' meski agak absurd. Pesannya  ke bumi, adalah 'bongkar lego di kamar aja', selain 'masukkan serpihan lego ke boksnya'. Maksudnya sih supaya serpihan-serpihan lego itu bisa kelacak keberadaannya. Intinya, meminimalkan hilang ;)

Malah katanya, lebih baik lego-lego itu dibongkar dan dipasang sesuai hayalan anak. “Memang, buat kita para orang tua, bentuknya gak lagi bagus, gak keren, gak manis. Tapi bongkar-bongkar lego dan kemudian disusun dengan beragam betuk bisa jadi membantu bumi meningkatkan daya kreatifnya, membangun imajinasi,” gitu katanya.

Ya, bener juga, sih. Ibu pun akhirnya ngalah. Ikhlas melihat tu lego bentuknya nggak jelas, awur-awuran.

Sekarang, sih, yang repot malah suami karena dia selalu berusaha ngumpulin serpihan lego untuk bisa disusun kembali. Katanya, modalnya cuma sabar.

Lah, saya, mah, nggak sabar. Sekarang malah cenderung tutup mata dan belajar ihklas ngeliat kondisi lego yang cukup ngenes.  Kalau pun Bumi minta beliin Lego lagi, saya bakal ajuin syarat. “Boleh dibeliin lego lagi… asal Bumi bisa membuat bentuk lego seperti semula.

Eh, ada yang mau bantuin suami saya ngumpulin lego? Kalau saya, mah, nggak sabaran, hahahahaha.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar