Jadi
gini… beberapa hari lalu di social media
kembali rame soal kasus bullying. Seperti biasa, kali ini pun korban dan pelakunya itu anak sekolahan.
Yang satu, anak SMP nge-bully temannya di salah satu pusat perbelanjaan, satu
lagi ada anak kuliahan yang nge-bully temennya yang special karena autis.
Miris
nggak waktu lihat videonya? Kalau saya, sih, iya.
Tapi
yang nggak kalah miris saat baca komentar yang ditulis sama orang-orang yang notabene
sudah dewasa. Apalagi sama orang yang ikut menyebarkan video tersebut
menggunakan caption yang nggak kalah ‘mengerikan’.
Gimana
nggak mengerikan coba? Lah wong, pemilihan katanya juga nggak sopan. Malah cenderung
banyak yang pakai kata-kata ‘kebun binatang’. Umh, bukannya ini jadi sama aja,
ya? Sama-sama nge-bully, gitu.
Kalau
mau kasih tahu atau mengingatkan orang lain, termasuk anak sendiri dan
keponakan untuk nggak mencontoh kesalahan tersebut, ya, boleh aja, sih. Tapi menurut
gue, bukan begitu juga caranya. Karena memang nggak tepat sasaran juga.
Ada
juga yang ngomel dan nyalahin orangtuanya.
Ok, mungkin memang ada benarnya, si pelaku
(mungkin) kurang pengawasan dan perhatian dari orangtuanya. Bisa juga karena si
pelaku juga pernah jadi korban intimidasi orang lain. Bisa juga karena melihat
orang dewasa atau orangtuanya yang sering melakukan tindak kekerasan.
Ah,
kalau ngomongin soal pemicu sebenarnya, sih, banyak banget. Karena memang bukan
hanya karena satu faktor saja. Nah, pemicu lain yang bisa bikin anak suka
nge-bully itu juga dikarenakan anak-anak ini kebayanyakan ekspos kekerasan dari
media. Nggak cuma lihat lewat konten video games atau film, tapi termasuk
konten video yang kita sebarin di social media pribadi.
Bisa
aja, dong, anak atau keponakan yang nggak tahu apa-apa, malah jadi penasaran
karena melihat adegan kekerasan dalam video yang kita sebar? Parahnya lagi,
kalau sampai bikin mereka mau mencobanya.
Seorang
teman sempat komentar, mungkin banyak orang yang lupa kalau memberikan
komentar dengan kata yang nggak sopan sampai menyakiti di social media itu juga
merupakan bentuk bullying.
Umh, bisa jadi.
Setahu
saya, nih, bentuk bullying itu memang banyak banget. Nggak cuma bullying secara fisik seperti memukul, menendang atau menjambak, bentuk bullying yang sering terjadi itu juga berupa verbal termasuk yang dilakukan lewat bullying lewat sms, status di media sosial. Bahkan, memberikan nama julukan atau name calling pada teman saja termasuk bentuk tindakan verbal bullying.
Si gembrot…
Si pesek…
Dan segala bentuk julukan lainnya.
Contohnya nggak usah jauh-jauh. Anak
saya, Bumi, sering banget diledekin sama temannya barunya. “Kok, namanya Bumi? Namanya aneh…
Bumi itu kan yang kita injak-injak. Memangnya kamu bisa diinjak?”
Kira-kira begini, deh, respon teman
barunya Bumi ketika baru kenalan. Alhasil, anak saya ini sering melakukan aksi
protes kenapa namanya Bumi. Sempat minta ganti nama segala, hahahahaa…
ujung-ujungnya, dia pun sempat minta untuk ganti nama panggilan.
"Aku nggak mau dipanggil Bumi lagi," gitu katanya.
"Aku nggak mau dipanggil Bumi lagi," gitu katanya.
====______====
Meskipun kesannya bercanda, tapi percaya
deh, ketika kita memberikan nama julukan pada seseorang akan berisiko
membuatnya sakit hati. Jadi ingat sama sesi interview dengan seorang psikolog. Kalau katanya Liza Marielly Djaprie, penyandang gelar
master psikologi klinis dari Universitas Indonesia, “Bullying verbal biasanya memang
nggak terlihat, tetapi justru lebih mematikan, karena tidak menimbulkan efek fisik
seperti memar, namun nikam banget ke hati orang yang di-bully. Artinya, akan
ada banyak efek psikologis ang bisa dirasakan, mulai dari tidak percaya diri bahkan, menganggap dirinya
tidak ada harganya lagi”.
Itu baru nge-bully dengan sebutan nama. Gimana bentuk kekerasan verbal yang lainnya coba? Verbal yang saya maksud di sini tentu aja termasuk yang dilakukan secara tertulis.
Itu baru nge-bully dengan sebutan nama. Gimana bentuk kekerasan verbal yang lainnya coba? Verbal yang saya maksud di sini tentu aja termasuk yang dilakukan secara tertulis.
Kalau
kita yang mengaku sudah dewasa dan niatnya mau kasih contoh buat anak-anak ataupun
adik-adik di luar sana lewat cara menyebarkan video tersebut, termasuk komentar
dengan kata-kata kasar, bukannya jadi sama aja, ya? Nggak berbeda jauh dengan
anak-anak pelaku bully itu?
Mengutip kalimat yang ditulis Mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog anak dan
remaja di Facebook-nya, “Share the news, but not the video. And, don’t let ourself be the
bully. Watch your comments.
Setuju nggak? Iya, dong.
Setuju nggak? Iya, dong.
Sudahlah…
toh, saat ini pemerintah dan pihak sekolah juga cukup tegas, kok. Mereka itu
cepat banget bertindak untuk mengatasi masalah ini. Si pelaku juga sudah
cukup menerima risikonya. Menurut saya, sih, meskipun memutus mata rantai bullying ini nggak gampang dan jadi PR berat buat kita semua, tapi nggak ada salahnya kalau dimulai dari diri sendiri aja dulu. Baru setelah itu ditularkan ke anak-anak dan lingkungan rumah.
Gimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar